Baru Menjabat Trump Bikin Susah Banyak Orang, Terutama Muslim - MEDIA ONLINE

Hot

Sunday, February 5, 2017

Baru Menjabat Trump Bikin Susah Banyak Orang, Terutama Muslim

(foto: istimewa)

MEDIA ONLINE – Bagi Donald Trump (70), janji-janji yang dia buat selama kampanye harus ditepati. Hanya hitungan hari setelah menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat, ia merealisasikan janji-janji yang pernah ia ucapkan semasa kampanye. 

Tak peduli meski pembuktian janji itu menjadi kontroversial dan membuat susah banyak orang, terutama kalangan umat Muslim.

Salah satunya adalah Dr. Ghassan Assali dan suaminya, Sarmad. Mereka adalah pasangan suami-istri asal Suriah yang tinggal di Kota Allentown, negara bagian Pennsylvania. Keduanya tinggal di AS sejak Presiden Bill Clinton masih berkuasa lebih dari 20 tahun silam.

Berbekal kartu hijau atau green card, mereka menetap, bekerja, dan berkehidupan di negeri Paman Sam.  Assali menamatkan kuliahnya di Fakultas Kedokteran Gigi di New York University. Sehari-hari ia bekerja sebagai seorang dokter gigi di Pennsylvania.

Pada pemilihan Presiden AS tahun 2016 lalu, Assali dan suaminya dengan mantap memilih Trump untuk menjadi Presiden AS. Trump menang, Hillary Clinton, kompetitornya tersingkir.  Tapi pembuktian janji Trump saat kampanye akhirnya menyakitkan Assali dan suaminya. 

Delapan hari setelah Trump menjabat, di depan mata keduanya, mereka menyaksikan sendiri bagaimana keluarga kandung mereka yang baru tiba dari Suriah dideportasi. 

“Kami tahu, ia sangat ingin memproteksi negara ini. Kami hanya tak menyangka keluarga kami menjadi salah satu korbannya,” ujar Assali seperti diberitakan di NBC News, 31 Januari 2017.

Dua saudara laki-laki Sarmad, istri, dan anak-anak mereka sejak tahun 2003 telah berusaha meninggalkan Suriah. Permohonan mereka akhirnya disetujui pemerintah AS pada Desember 2016. 

Keluarga tersebut tiba di Suriah beberapa jam setelah Donald Trump menandatangani perintah eksekutif yang melarang imigran dari tujuh negara mayoritas Muslim, termasuk Suriah.

Salah seorang keluarga Assali yang juga dideportasi adalah ibu dari Tarwark Assali, yang datang ke Amerika Serikat tiga tahun yang lalu, saat ia berusia 17 tahun. Tarwark Assali yang  kini berusia 21 tahun hanya diam tak percaya. 

"Saya hanya perlu menunggu satu jam lagi untuk memeluknya. Untuk melihatnya," ujarnya sambil mengusap airmata yang mengalir di kedua pipinya.

Meskipun Kepala Staf Gedung Putih Reince Priebus telah mengatakan bahwa aturan Trump tak berlaku bagi pemegang kartu hijau atau green card. Namun keluarga Assali tetap dipaksa kembali ke Suriah. Padahal mereka telah merindukan pertemuan itu selama lebih dari satu dekade.

Di masa kampanye, Trump berulangkali mengatakan, jika ia menjadi Presiden AS maka ia akan membangun tembok pembatas dengan Meksiko, dan melarang pengungsi dari Suriah memasuki negaranya. Delapan hari setelah ia dilantik, janji masa kampanye itu ia buktikan.

Hari Sabtu, 28 Januari 2017 WIB, atau Jumat, 27 Januari 2017 waktu setempat, seperti menjadi mimpi buruk bagi imigran dan Muslim yang berada di Amerika. Hari itu, Presiden Donald Trump menandatangani “EXECUTIVE ORDER: PROTECTING THE NATION FROM FOREIGN TERRORIST ENTRY INTO THE UNITED STATES,” atau Perintah Eksekutif : Melindungi Negara dari Teroris Asing yang Ingin Memasuki Amerika Serikat.

Melalui perintah eksekutif itu Trump mensahkan larangan masuk bagi pengungsi ke AS, yang berlaku selama 120 hari, larangan masuk bagi pengungsi dari Suriah untuk waktu yang belum ditentukan, serta larangan masuk bagi pendatang berdokumen lengkap asal Iran, Irak, Libya, Somalia, Sudan, Suriah, dan Yaman - yang berlaku selama 90 hari. Para pemegang kartu hijau yang sedang berada diluar negeri juga kebagian getahnya. Mereka tak serta merta bisa kembali ke AS, namun harus melalui serangkaian wawancara.

Memakan Korban

Selang beberapa jam setelah Trump menandatangani perintah eksekutif, aturan itu memakan korban. Bandara internasional John F. Kennedy, bandara internasional Dulles, dan beberapa bandara lain menahan imigran yang baru datang dari tujuh negara yang disebut dalam perintah eksekutif Trump. Kegaduhan terjadi. Beberapa diantara mereka yang ditahan sudah mengantongi green card, atau kartu hijau.

Keluarga Dr. Ghassan Assali adalah bagian dari mereka yang ditahan. Begitu pula seorang anak berusia empat tahun. Anak itu sempat ditahan dan diborgol di bandara internasional Dulles, Washington DC, hanya karena ia baru tiba dari Iran. 

Padahal ibunya yang memang asal Iran sudah menjadi warga negara AS, dan tinggal bersama anak tersebut di Maryland. Saat kejadian, anak itu baru datang dari Iran bersama keluarga ibunya, sedangkan sang ibu menunggu dibandara. Setelah empat jam ditahan, anak tersebut dibebaskan.

Seorang mahasiswa asal Iran yang kuliah di AS dan akan kembali ke negara tersebut setelah pulang dari Iran juga tertahan. Ia tak bisa masuk ke negara tempatnya menuntut ilmu.

Hari itu juga terjadi demonstrasi spontan. Puluhan ribu warga AS turun ke jalan, sebagian menuju bandara dan Gedung Putih, menentang kebijakan imigrasi Trump. Mereka menganggap keputusan Trump justru melanggar konstitusi AS. 

Kegaduhan terjadi nyaris merata di seluruh AS.  Bandara dipenuhi imigran yang tak bisa masuk ke AS dan keluarga mereka yang sudah terlanjur menunggu.

Menyakitkan bagi keluarga  Dr. Ghassan Assali, hanya sekitar enam jam setelah keluarga mereka dipulangkan kembali ke Suriah, Hakim Federal Ann Donnely mengeluarkan perintah untuk melepaskan mereka yang dtahan, dan mengijinkan mereka masuk ke negara adi kuasa tersebut.

Para pegiat HAM bereaksi. Mereka menyampaikan segera melakukan gugatan pada Trump. Senin malam, 30 Januari 2017, Pelaksana Tugas Jaksa Agung, Sally Yates, menyampaikan secara terbuka Departemen Kehakiman yang ia pimpin tak akan mendukung larangan masuk bagi para pengungsi dan pendatang dari tujuh negara dengan penduduk mayoritas umat Muslim ke AS. 

Menurut Yates, membela aturan baru yang dikeluarkan Presiden Trump itu "tidak akan sejalan dengan prinsip yang dianut oleh Departemen Kehakiman, yaitu selalu mencari keadilan dan berpihak pada apa yang benar."  Argumentasi itu berakibat fatal, esoknya Trump memecat Yates karena membangkang perintahnya.

Tak hanya Yates pejabat tinggi yang membangkang. 16 Jaksa Agung dari seluruh Amerika Serikat, termasuk dari California dan New York menyampaikan surat keberatan yang isinya mengecam kebijakan tersebut. Menurut mereka, kebijakan Presiden AS yang diusung Partai Republik tersebut melawan konstitusi. Mereka pun berjanji akan melawan perintah Trump tersebut.

Pada hari yang sama, Reuters memberitakan, sekitar 900 diplomat AS dari seluruh dunia mengirim kabel kepada Kementerian Luar Negeri AS. Isinya menyatakan keberatan mereka terhadap kebijakan yang disampaikan Trump. Mereka, terutama yang berada di negara yang disebut dalam kebijakan imigrasi Trump menyampaikan kekhawatirannya. 

"Hasil akhir dari larangan tersebut bukanlah menurunkan potensi serangan teror di Amerika Serikat, malah menurunkan nama baik AS di mata internasional dan meningkatkan ancaman pada ekonomi kita," demikian tertulis dalam memo yang disampaikan oleh Reuters, 31 Januari 2017.

Dokumen itu juga menyampaikan bahwa kebijakan itu akan memperkeruh hubungan AS dengan negara-negara terdampak, meningkatkan sentimen anti-Amerika, dan melukai mereka yang datang ke AS untuk alasan kemanusiaan seperti yang datang untuk berobat. 

"Selain itu, kebijakan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai dasar Amerika, yaitu non-diskriminasi, bersikap adil, dan memberi sambutan hangat untuk warga asing yang datang berkunjung dan imigran," demikian tertulis dalam dokumen.

Menanggapi aksi protes dari para diplomat Juru bicara Gedung Putih, Sean Spicer, malah balik menantang. "Apakah para birokrat karier tersebut punya masalah dengan ini? Saya rasa mereka bisa memilih salah satu, terus menjalankan program tersebut, atau mereka bisa pergi," ujar Spicer.

Dunia Mengecam

Keputusan Trump ini juga menimbulkan kontroversi di seluruh dunia. Sekretaris Jenderal PBB yang baru Antonio Guterres mengatakan, penutupan perbatasan bagi orang-orang atas dasar agama, etnis atau kewarganegaraan mereka merupakan sebuah kebijakan "buta" yang memiliki risiko memenangkan propaganda esktremis. 

Namun Arab Saudi mendukung kebijakan Trump. Menteri Perminyakan Arab Saudi Khalid al-Falih kepada BBC mengatakan kritik terhadap larangan tersebut "berlebihan.”

Menteri Luar Negeri Italia, Angelino Alfano, memilih tak mengomentari keputusan Trump. Saat diwawancara oleh media Italia Corriere della Sera dan dikutip oleh The Guardian, ia mengatakan, "Italia tidak berada pada posisi yang tepat untuk mengomentari keputusan yang sudah diambil oleh negara lain."  

Sedangkan Menteri Dalam Negeri Inggris Amber Rudd memperingatkan bahwa larangan perjalanan itu dapat menjadi sebuah "peluang propaganda" bagi kelompok yang menyebut diri Negara Islam. Dia menyebut langkah presiden AS ini "memecah belah" dan "salah". Negara Eropa lain, termasuk Jerman belum memberikan pernyataan resmi mereka terkait keputusan Trump.

Ratusan orang berkumpul di luar Gedung Federal untuk memprotes kebijakan Presiden AS Donald Trump di Minneapolis, Minnesota, AS 31 Januari 2017. (REUTERS/Adam Bettcher)

Indonesia pun bereaksi. Pemerintah RI, melalui Kementerian Luar Negeri, mengaku menyayangkan keputusan Trump. Namun sebagai negara dengan mayoritas penduduk Muslim, nama Indonesia tak menjadi bagian dari negara yang dilarang oleh Trump. Muhammad Anshor, Direktur Jenderal Amerika dan Eropa dari Kementerian Luar Negeri RI mengungkapkan Indonesia bisa memahami kebijakan tersebut, namun menyayangkannya.

"Kita memahami kebijakan keimigrasian AS termaksud ditujukan utk menjamin keamanan bagi warga AS dari terorisme. Namun kebijakan keimigrasian yang secara spesifik mengkaitkan terorisme dengan agama tertentu dan menyasar warga dari negara-negara tertentu akan beresiko mengarah menjadi tindakan diskriminasi berdasarkan agama dan kewarganegaraan.  Kebijakan ini menabrak nilai-nilai universal yang juga dianut oleh Indonesia, termasuk dalam memerangi terorisme. Dengan demikian   kebijakan ini lebih lanjut akan mempersulit upaya  membangun kerjasama internasional yang efektif untuk memerangi terorisme, yang melibatkan AS sebagai mitra penting," ujarnya. 

Anshor menambahkan, saat ini sikap resmi pemerintah RI adalah mengakui kebijakan AS sebagai hak kedaulatan AS. "Namun demikian, AS hendaknya selalu menempatkan penghormatan HAM dan kebebasan dasar yang merupakan norma universal, serta due process of law dalam mengambil tindakan terhadap undocumented migrants di AS," ujarnya menambahkan.

Trump Bergeming

Menanggapi aksi demo dan penolakan yang terus terjadi, Presiden AS dari Partai Republik itu bergeming. Trump membantah bahwa larangan itu adalah tentang Muslim dan Islam. Ia bersikukuh, larangan itu ia berlakukan demi melindungi negaranya dari teroris, dan bukan karena dia anti-Muslim. 

"Saya memastikan langkah-langkah pemeriksaan baru untuk memastikan teroris Islam radikal dibersihkan dari Amerika Serikat. Kami hanya memberikan izin masuk ke Amerika pada mereka yang siap mendukung negara ini dan mencintai warga negara ini," ujarnya seperti dikutip dari BBC.

Pakar Hukum Internasional Hikmahanto Juwana tak terlalu yakin, kebijakan yang dipilih Trump ini akan bersifat permanen. Hikmahanto mengatakan, "yang perlu kita pahami adalah Trump bilang ini hanya berlaku untuk empat bulan. Nah yang jadi pertanyaan kita, apakah kebijakan ini dibuat benar-benar untuk keamanan nasional Amerika Serikat atau sebenarnya ini dibuat untuk menunaikan janji politik Trump kepada pemilihnya, bahwa dulu saya pernah bilang akan memberikan sanksi moratorium untuk orang-orang dari negara-negara Islam, gitu kan."

Menurut Hikmahanto, bisa saja setelah empat bulan aturan tersebut dicabut lagi.  

"Jadi ini dia lakukan sekarang, tapi setelah empat bulan mungkin juga dicabut lagi (kebijakan itu). Alasannya nanti, ooh ternyata banyak hal kan, sehingga dia nanti tidak disalahkan oleh pemilihnya, dan seolah-olah dia itu tidak memenuhi janji-janji kampanyenya," ujarnya.

Trump memang tak pernah memberikan janji manis saat masa kampanye. Jadi saat ini ia merealisasikan ucapannya, meski ucapan dan tindakannya itu ternyata sangat menyakitkan bagi rakyat AS. 

Bagaimanapun, terpilihnya Trump adalah pilihan rakyat Amerika, meski kini mereka dan jutaan warga dunia lain menanggung getahnya. 

Namun seperti argumen yang disampaikan Hikmahanto, Trump belum tentu membuat aturan tersebut jadi aturan permanen. Jadi, hingga empat bulan ke depan, bisa saja terjadi perubahan. (viva)

Post Top Ad