Penyadapan KPK Perlu Diatur dalam UU, Bukan Menghilangkan - MEDIA ONLINE

Hot

Friday, June 19, 2015

Penyadapan KPK Perlu Diatur dalam UU, Bukan Menghilangkan

Abdullah Hehamahua

LAMPUNG ONLINE - Mantan Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abdullah Hehamahua menilai penyadapan yang dilakukan lembaga antikorupsi perlu diatur dalam undang-undang (UU). Namun, pengaturan ini bukan berarti menghilangkan kewenangan KPK dalam penyadapan.

"Perlu diatur ke Undang-undang untuk mengatur dan menertibkannya. Kalau untuk menghilangkannya, tidak," kata Abdullah usai berkunjung ke Gedung KPK, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Kamis (18/6/2015).

Menurut dia, selama ini masalah penyadapan ini tak pernah disebutkan dalam Undang-undang KPK. Pada 2005, KPK pernah mengaudit penyadapan. Mereka mencontohkan bagaimana aparat penegak hukum Inggris menyadap tanpa bertentangan dengan hak asasi manusia (HAM).

Dalam penyadapan, kata dia, lembaga antikorupsi juga berpedoman dari surat edaran yang pernah dikeluarkan Kementerian Komunikasi dan Informatika. Untuk itu, masalah penyadapan perlu diatur secara serius di UU KPK.

Abdullah yakin, penyadapan yang dijalankan KPK sudah memenuhi prinsip-prinsip HAM. KPK tidak akan sembarangan 'menguping' pembicaraan orang lain, seperti dilansir Metrotvnews.

"Kalau penyidik mau sadap, pertama dia surat dulu ajukan ke direktur. Kalau direktur menyetujui diteruskan ke deputi lalu ke pimpinan. Yang ditranskrip juga soal korupsi, yang pribadi enggak. Di Anggodo Widjojo itu terputus-putus karena itu pribadi," contoh dia.

Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas 2015. Ini merupakan hasil rapat antara Badan Legislasi DPR dab Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly.

Yasonna menilai RUU KPK perlu dimasukan dalam Prolegnas prioritas 2015 lantaran aturan dapat menimbulkan masalah dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi. Dia menitikberatkan pada kewenangan penyadapan milik KPK.

"Perlu dilakukan peninjauan kembali seperti penyadapan yang tidak melanggar HAM, dibentuk dewan pengawas, pelaksanaan tugas pimpinan, dan sistem kolektif kolegial," kata Yasonna di Gedung DPR, Jakarta, Selasa 16 Juni. (*)

Post Top Ad