Sebut Buruh 'Pelayan Pengusaha', Sofjan Wanandi Dikecam - MEDIA ONLINE

Hot

Thursday, May 7, 2015

Sebut Buruh 'Pelayan Pengusaha', Sofjan Wanandi Dikecam

Sofjan Wanandi

LAMPUNG ONLINE - Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mengecam keras sikap feodal mantan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) yang kini menjadi Ketua Tim Ahli Wakil Presiden RI, SofJan Wanandi, yang telah merendahkan harkat dan martabat kaum buruh.

Pekerja atau buruh sebagai manusia dalam hubungan industrial disebut Sofjan sebagai 'pelayan pengusaha' yang dimuat oleh salah satu media nasional pada Sabtu, 2 Mei 2015 lalu.

Vice Presiden KSPI bidang Pengupahan Sofyan Abdul Latif mengatakan pernyataan dan tuntutan kaum pekerja/buruh bukanlah pernyataan dan tuntutan yang tanpa dasar.

“Sofjan Wanandi lupa, sebanyak apa pun modal dan secanggih apa pun teknologi yang dimiliki pengusaha, tapi tanpa sentuhan tangan-tangan terampil dan otak-otak cerdas kaum pekerja/buruh, tak ada arti apa-apa modal dan teknologi tersebut,” ujar Abdul Latief dalam keterangan tertulisnya, Kamis (7/5/2015).

Ucapan Sofjan Wanandi itu menurut KSPI menunjukkan yang bersangkutan sebagai warga negara Indonesia tak paham dengan konstitusi negaranya sendiri, khususnya Pasal 33 ayat (1) Jo Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (2) Undang Undang Dasar 1945.

Abdul Latief juga mengatakan, pendiri Republik Indonesia tercinta ini telah merumuskan dan menetapkan sistim ekonomi bangsa ini, termasuk sistem ekonomi dalam hubungan industrial.

"Bahwa pada hakekatnya perusahaan adalah usaha bersama antara pengusaha sebagai pemilik modal serta teknologi dan pekerja/buruh sebagai pihak yang menjalankan dan mengembangkan  modal dan teknologi tersebut dengan tenaga, pikiran dan segenap kompetensi yang dimilikinya," tegas Abdul Latief.

"Pengusaha dan pekerja/buruh sama-sama bekerja sesuai fungsi dan perannya masing-masing dengan satu tekad dan tujuan keuntungan perusahaan dan kesejahteraan bersama," lanjutnya.

Hakekat ini sejalan dan senafas dengan jiwa dan semangat gotong royong sebagaimana maksud yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (1) UUD 1945, yang merupakan modal sosial terbesar bagi pembangunan ekonomi bangsa Indonesia.

“Dengan berlandaskan amanat dan perintah konstitusi negara tersebut di atas, maka barang siapa yang memposisikan kedudukan kaum pekerja/buruh Indonesia sebagai pelayan pengusaha, adalah suatu penghinaan dan pengingkaran terhadap amanat dan perintah UUD 1945,” tegasnya, seperti dilansir Skalanews.

Untuk itu, Abdul Latief pun menekankan, dalam menghadapi arus liberalisasi pasar global, seharusnya dilakukan penguatan kemitraan yang setara antara pengusaha dan kaum pekerja/buruh, bukan sebaliknya.

Sebab dengan menggunakan rumus apa pun, tak bisa diingkari, bahwa peran dan partisipasi kaum pekerja/buruh dalam pembanguna ekonomi bangsa adalah suatu keniscayaan.  Partisipasi dan kontribusinya dalam pembangunan ekonomi bangsa nyata, bukan dusta.

Sementara itu, Vice Presiden KSPI bidang Advokasi Widadi WS juga menyatakan, bahwa dalam perjalanan negeri ini baik pra kemerdekaan sampai pasca kemerdekaan. Peran dan jasa yang telah dipersembahkan kaum buruh adalah fakta yang tak terbantahkan.

Menurut Widadi, statement Sofjan Wanandi dapat mengundang para whistle blower untuk memprovokasi masa buruh dan hal itu bisa menjadi sangat berbahaya.

Sebab pada situasi dengan gap antara si kaya dan miskin yang semakin melebar, sementara kendali pemerintah untuk mengatasi efek dari kebijakan ekonomi sudah mandul alias tidak bertanggungjawab maka kondisi emosional masyarakat sangat rentan untuk dikipas-kipas.

“Sofjan dengan sengaja ingin menciptakan suasana memelihara permusuhan antara kaum buruh dengan kelompok pengusaha yang sudah terbiasa mendapat kemudahan dari penguasa,” ujar Widadi.

Sehingga, lanjut Widadi, Sofjan Wanandi  merasa "Halal" untuk berbuat apa saja dengan tanpa menyadari bahwa makna dan pesan dari pada statemennya adalah republik ini tanpa peran dan jasa "pengusaha" tidak akan pernah ada.

"Bahwa ingin pengakuan atau bahkan menyatakan bahwa republik ini yang membiayai adalah para pengusaha. Bahwa karena itu para pengusaha 'Merasa Lebih Berhak' untuk mengatur republik dan segala isinya. Dan yang paling berbahaya adalah memicu krisis atau sentimen etnis tertentu. Ini sangat berbahaya jika dihembuskan ke akar rumput.” Cetus Widadi. (*)

Post Top Ad