LAMPUNG TIMUR - Deretan rumah panggung tua terbuat dari kayu menyapa sepanjang jalan Kecamatan Melinting, Kabupaten Lampung Timur. Di belakang rumah, buah rambutan memerah di pohonnya menjuntai menggugah selera. Butir-butir durian yang baru saja dipanen tersusun rapi di pinggir ladang. Aromanya yang semerbak membuat perut rombongan wartawan bergejolak.
Durian yang matang siap langsung dimakan. Sedangkan durian yang tak terlalu matang diangkut ke dalam truk untuk dijual di Bandar Lampung atau Jakarta.
“Kalau yang matang kan tidak tahan lama. Kalau dibawa ke Jakarta bisa merekah sendiri di jalan,” ujar Umuh, warga desa yang ditemui ketika menyusuri jalan di perkampungan ini, Sabtu dua pekan lalu.
Untuk durian ukuran kecil, Umuh mematok harga Rp 5 ribu. Sedangkan ukuran sedang dan besar bisa ditebus dengan Rp 10 ribu dan Rp 15 ribu perbuah. Cukup dengan Rp 100 ribu Anda bisa berpesta durian di kampung ini.
Pemandangan durian, rambutan dan perkampungan dengan rumah panggung tua juga dapat ditemui di Kecamatan Jabung yang berjarak setengah jam dari Melinting. Truk hilir mudik mengangkut hasil bumi untuk dijual di Bandar Lampung yang berjarak 4 jam perjalanan.
“Sebagian besar masyarakat Jabung dan sekitarnya memang hidup dari berladang,” kata Zulkifli, Kepala Desa Negara Bathin, Kecamatan Jabung, Sabtu dua pekan lalu.
Harumnya durian Jabung dan Melinting tampaknya tak banyak orang yang tahu. Sayang, dua desa ini lebih terkenal sebagai desa penghasil begal dan pelaku tindak kriminalitas lainnya.
Direktur Kriminal Umum Polda Lampung, Komisaris Besar Polisi Purwo Cahyoko mengatakan bahwa para pelaku pencurian kendaraan bermotor dengan kekerasan yang berhasil ditangkap jajarannya rata-rata berasal dari dua daerah ini.
“Sekitar 50 persen pelakunya memang berasal dari sana,” ujarnya.
Tak hanya data statistik, cerita keseraman kampung ini juga melekat di benak masyarakat Lampung. Misalnya ketika wartawan mencoba menyewa kendaraan roda empat di Bandar Lampung. Begitu menyebutkan hendak menuju kedua wilayah itu, pemilik kendaraan biasanya mundur teratur jika tak kenal benar dengan penyewanya.
“Karena banyak kejadian orang sewa mobil ke daerah sana, mobilnya nggak pulang,” kata Syarief, pemilik kendaraan yang wartawan pakai menyusuri kampung selama enam hari.
Tak hanya itu, predikat negatif desa ini juga membuat peduduknya sulit mendapat kredit kendaraan bermotor dan perbankan. Abu Hasan, penduduk desa Negara Saka, Kecamatan Jabung, mengalami sendiri hal itu. Dia terpaksa menggunakan identitas kakaknya yang bermukim di Bandar Lampung hanya untuk mendapatkan kredit motor.
“Saya sudah minta dari dealer di Sri Bhawono, Metro, sampai Bandar Lampung nggak ada yang mau kasih karena alamat KTP saya Jabung,” ujarnya, seperti dilansir Tempo.
Deny Ardhani, seorang pegawai perusahaan kredit motor di Bandar Lampung membenarkan cerita itu. Menurut dia, perusahaannya bisa dipastikan akan menolak permohonan dari desa itu jika tak mengetahui benar siapa yang mengajukan kredit.
“Karena kalau misalnya kreditnya macet nggak ada yang berani tarik motor di sana,” ujar pria berkacamata itu.
Predikat Jabung dan Melinting sebagai 'Kampung Begal' membuat gerah Zulkifli dan kepala desa lainnya. Meskipun mengakui bahwa ada sebagian warganya yang berprofesi sebagai begal, Zul, tak mau anggapan itu melekat pada seluruh warganya. Menurut dia, saat ini bahkan masyarakat Jabung dan sekitarnya tak segan-segan menyerahkan para pelaku begal itu kepada polisi.
“Kalau memang ada warga kami yang jadi begal, jangan polisi yang tangkap. Kami yang tangkap langsung kami serahkan,” katanya.
Kepala Desa Tebing, Kecamatan Melinting, Bukhori, juga menyatakan hal serupa. Predikat “Kampung Begal” tampak terlalu dibesar-besarkan. Apalagi, menurut dia, di sejumlah media disebut bahwa masyarakat Melinting dan Jabung memang memiliki keturunan begal dan perampok.
“Dari 3000 jiwa mungkin hanya sekitar 10 persennya yang seperti itu. Jadi jangan kampung kami ini disebut kampung begal,” ujarnya. (*)