Marzuki Yazid |
LAMPUNG - Terkait larangan penggunaan alat tangkap pukat tarik, cantrang dan jongrang yang tertuang dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KKP), Susi Pudjiastuti, ratusan nelayan di seluruh Indonesia, termasuk di Provinsi Lampung terancam bangkrut.
"Sebanyak 1.600 nelayan di Lampung terancam bangkrut jika Permen KKP ini terus bekelanjutan dan tidak dikaji ulang oleh ibu Menteri Susi," kata Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Provinsi Lampung Marzuki Yazid, di Bandar Lampung, Minggu (1/3/2015).
Ia mengemukakan, Permen Kelautan dan Perikanan No. 1 Tahun 2015 tentang penangkapan lobster, kepiting dan rajungan serta Permen No. 2 Tahun 2015 mengenai larangan penggunaan alat penangkapan ikan dengan pukat tarik, cantrang dan jongrang sangat merugikan nelayan kecil.
Dia melanjutkan, peraturan tersebut seharusnya dapat dikaji ulang, mengingat nelayan tidak pernah dilibatkan. Karena itu, seharusnya Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Lampung terlebih dulu melakukan sosialisasi Permen KKP ini.
"Pihak keamanan dan DKP jangan melakukan penangkapan sebelum nelayan mendapatkan alat yang baru. Jika kami ditangkap, keluarga ingin dikasih makan apa, nelayan pun bingung alat tangkap yang baru ini seperti apa dan penggunaannya bagaimana," ujar Marzuki Yazid.
Ia mengungkapkan, solusinya apa selama masa transisi ini, nelayan tidak boleh melaut jika menggunakan alat tangkap cantrang. Sedangkan 160 nelayan menggunakan alat tangkap yang disebutkan dalam Permen tersebut.
"DKP khususnya harus ada solusi untuk mengatasi masalah ini, jangan hanya diam saja dan memikirkan proyek yang menguntungkan pihak DKP," kata Marzuki Yazid. Menurutnya, permen ini sangat tidak mendukung nelayan dan bisa dipastikan akan bertambah orang miskin baru, mengingat nelayan takut ke laut karena akan ditangkap.
"Sepanjang tidak ada penegakan hukum untuk menggunakan alat tangkap tersebut, nelayan masih bisa melaut, itu permintaan nelayan," ujar Marzuki Yazid.
Harapan nelayan di Lampung, Kementerian KP harus bisa mengkaji ulang Permen tersebut dan juga memberikan solusi untuk mengganti alat tangkap yang baru. Dia melanjutkan, dalam menerapkan kebijakan seharusnya melibatkan nelayan yang merupakan pelaku langsung.
Pasalnya, kesulitan yang dihadapi oleh nelayan bukan hanya segi finansial untuk mengganti jaringnya, akan tetapi kemampuan para nelayan dalam menyesuaikan diri menggunakan alat tangkap baru bukan perkara mudah.
"Jika Kementerian ingin memberikan alat yang baru, sehingga para nelayan harus diberikan pelatihan," kata Marzuki Yazid. Ia mengungkapkan, perlu waktu yang lama pihaknya bisa akrab dengan cantrang, seperti dilansir Publicapos.
Dalam masa transisi itu, mereka harus rela mendapatkan hasil tangkapan seadanya. Tapi dalam kondisi sekarang ini, semua bahan baku dan bahan bakar minyak terus naik maka tuntutan kebutuhan terus meninggi, ujarnya. Karena itu, menurutnya, kalau pihaknya terus belajar menyesuaikan lagi dengan alat tangkap baru, kapan bisa menghidupi dan mencukupi kebutuhan keluarga.
"Kalau ada kekurangan alat tangkap cantrang, pemerintah seharusnya menyempurnakan. Bukan semata-mata langsung melarang, dan tidak dikasih jalan keluarnya," pungkas Marzuki Yazid. (*)