Luhut Binsar Panjaitan |
JAKARTA - Penambahan kewenangan terhadap Kepala Staf Kepresidenan, Luhut Binsar Panjaitan, melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 26 Tahun 2015 memicu kontroversi. Pengamat hukum tata negara Universitas Islam Indonesia (UII), Masnur Marzuki menegaskan, Luhut telah menjelma sebagai wakil presiden.
"Itu (Luhut) tidak saja menjadi 'menteri utama' tapi sekaligus the real wapres," tegas Masnur, Sabtu (7/3/2015).
Masnur beralasan, merujuk pada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara, keberadaan kantor kepresidenan dapat dianggap melawan kehendak UU. Sebab UU Kementerian tidak mengenal nomenklatur kantor kepresidenan melainkan sekretariat negara.
"Jadi jangankan ditambahkan wewenangnya, keberadaannya saja sudah potensial melabrak UU," imbuhnya. Selain itu, sambung Masnur, tidak dilibatkannya Jusuf Kalla dalam perumusan draft Perpres Nomor 26 Tahun 2015 tersebut, mengindikasikan terjadi kebekuan komunikasi politik antara presiden dengan wapres.
Padahal perluasan kewenangan kantor yg dipimpin Luhut itu menyerempet kewenangan wapres. "Pasal 4 ayat 2 UUD disebutkan, dalam melakukan kewajibannya presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden," lanjutnya, seperti dilansir Okezone.
Sebab itu, jika presiden membutuhkan bantuan dalam melaksanakan tugas-tugasnya, maka wapreslah yang paling konstitusional menerima mandat tersebut. "Jadi bukan Luhut yang notabene bukan wapres dan bukan pula menteri," pungkasnya. (*)