BANDAR LAMPUNG - Kasus dugaan korupsi dana kematian tahun 2012 yang merugikan negara Rp 2,26 miliar, di Dinas Sosial Kota Bandar Lampung kembali digelar, Selasa (3/3/2015). Kali ini, mantan Kepala Dinas Sosial Kota Bandar Lampung, Akuan Effendi yang didakwa melakukan korupsi bansos kematian itu, menjalani sidang perdana terkait perkara yang menjeratnya, di Pengadilan Tipikor Tanjung Karang.
Dalam sidang yang dipimpin Hakim Ketua Nelson Panjaitan, Jaksa Penuntut Fahrudin Syuralaga mendakwa Akuan dengan Pasal 2 ayat (1) Juncto Pasal 18 UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor. Selain Akuan, Bendahara Pengeluaran Tineke juga menjalani sidang perdana. Pembacaan dakwaan dilakukan secara terpisah, setelah sidang Akuan selesai.
“Perbuatan terdakwa yang tidak memberikan atau menyerahkan langsung uang duka kepada penerima atau ahli waris serta tanpa dilengkapi dengan bukti surat pertanggungjawaban telah menyimpang dari ketentuan yang berlaku,” katanya.
Pada dakwaannya, Jaksa Fahrudin menjelaskan, dana hibah bansos ini dialokasikan pada tahun anggaran 2012 Pemerintah Kota (Pemkot) Bandar Lampung. Mulanya, anggaran hanya sebesar Rp 2 miliar, yang kemudian mengalami perubahan menjadi Rp 2,5 miliar.
“Namun, tanpa ada rincian pihak calon penerima dan besaran nilai uang untuk masing-masing penerima hibah,” kata Jaksa Fahrudin. Baru pada saat perubahan anggaran, dinyatakan rincian bantuan uang duka adalah sebesar Rp500 ribu dan penerima bantuan sebanyak 5.000 orang. Dana ini kemudian diajukan permohonan pencairannya dalam lima tahap. Masing-masing tahap pengajuan pencairan sebesar Rp500 juta.
Di saat yang sama, pada Agustus 2012 Wali Kota Bandar Lampung juga membuat Surat Keputusan (SK) Pengangkatan TKS. Sepuluh orang termasuk Sakum diangkat menjadi TKS. Tugas TKS ini untuk membantu wali kota di bidang kesejahteraan sosial Pemkot Bandarlampung.
“Di samping itu, para TKS ini juga diberikan tugas membantu Dinas Sosial Bandarlampung dalam program santunan uang duka,” ujar Jaksa Fahrudin.
Sebenarnya, lanjut dia, para TKS ini tidak mempunyai kewenangan untuk menyalurkan atau menyerahkan uang santunan langsung kepada ahli waris. Karena pemberian uang santunan dilakukan oleh Akuan Effendi (Kepala Dinas Sosial Bandar Lampung) dan Tineke (Bendahara Pengeluaran).
Dalam kenyataannya, meski sudah menerima uang santunan duka tersebut, Sakum belum mengetahui jumlah orang yang meninggal dunia. Sehingga jumlah orang yang menerima bansos yang tertera pada kuitansi hanya direka-reka dan diperkirakan oleh Sakum. Pemberian uang bantuan duka cita ini juga tidak berdasarkan mekanisme yang telah ditentukan, melainkan hanya berdasarkan informasi dari telepon atau SMS yang diterima Sakum.
“Sakum juga menerima blanko bukti kas pengeluaran, surat permohonan ahli waris, dan surat keterangan kematian dalam keadaan kosong,” terang Jaksa Fahrudin.
Berdasarkan kwitansi pengeluaran yang dilakukan oleh Tineke, total uang yang diberikan sebanyak Rp2,47 milyar dengan rincian Sakum (Rp2,38 miliar), Yan Ahmad (Staf Dinsos, Rp57 juta), Sukardi (Staf Dinsos, Rp25 juta), Darul Khotni (Staf Dinsos, Rp 50 ribu), Rini (ahli waris, Rp500 ribu) dan Zaidir (ahli waris, Rp500 ribu).
“Sedangkan sisa uang yang mencapai sebesar Rp 30 juta tidak diketahui siapa yang menyalurkannya atau menerima dana itu. Karena ketika Tineke melakukan kroscek, ternyata terjadi kekurangan bukti surat pertanggungjawaban,” terang Jaksa Fahrudin, seperti dilansir Harianlampung.
Sehingga, untuk menutupi kekurangan surat pertanggungjawabanm Akuan memerintahkan kepada Tineke untuk mengambil data dan nama-nama dari ahli waris penerima bansos kematian tahun sebelumnya yakni pada tahun 2011. Dan ini, dibayarkan sesuai bukti kas pengeluaran tahun 2012.
Rincian pengubahan ini antara lain, surat kematian, surat permohonan ahli waris, dan bukti kas pengeluaran. Tak hanya, para terdakwa juga memasukan data kematian warga yang tidak benar, memalsukan stempel dan tanda tangan RT pada surat keterangan kematian, dan memalsukan tanda tangan ahli waris.
Lebih lanjut, kata Jaksa Fahrudin, sehingga terhadap pembayaran uang duka kepada ahli waris sebanyak 5.000 orang dengan nilai Rp2,5 miliar ini hanya sebanyak 4745 berkas, atau senilai Rp2,37 miliar.
“Sehingga yang tidak dapat dipertanggungjawabkan sebanyak 255 orang senilai Rp 127,5 juta,” katanya. Dan dari 4.745 orang yang SPJ-nya diserahkan ini, hanya 470 orang atau senilai Rp235 juta yang diakui meninggal. Akibatnya, ada selisih Rp2,265 milyar yang menjadi kerugian negara. (*)