Tiga pelajar SMK di Depok yang membegal saat diringkus polisi. (ist) |
DEPOK - Pihak kepolisian memastikan bahwa tiga pelaku begal motor yang dibekuk saat tengah beraksi di kawasan Grand Depok City (GDC) dan berstatus pelajar SMK, bukanlah bagian dari kawanan begal motor mematikan yang beraksi di Jalan Juanda dan Jalan Margonda di depan Kampus BSI, Januari 2015 lalu.
Modus yang dilakukan DF (18), IS (17) dan ADP (18), pelajar kawanan begal motor yang dibekuk polisi ini memang nyaris sama dengan kawanan begal motor mematikan, dimana pelakunya diketahui kelompok asal Lampung.
Jika kawanan begal mematikan asal Lampung tak segan-segan menghabisi korbannya dengan senjata tajam, untuk tiga pelajar kawanan begal motor kelompok SMK ini berpikir dua kali untuk melakukannya. Walaupun begitu modus pengancaman dengan menggunakan senjata tajam dan memepet calon korbannya sama dengan kawanan begal mematikan.
Ahli Psikolog Forensik, Reza Indragiri Amril menuturkan, dari analisanya tiga pelajar yang menjadi kawanan begal motor kelompok SMK ini sebenarnya adalah copycat atau meniru aksi kejahatan begal motor sebelumnya yang mematikan.
Sebab menurut Reza, menduplikasi atau meniru tindak kejahatan begal motor sangat mudah, karena didukung sejumlah faktor yang ada. Hal inilah, kata dia, yang diduga kuat dilakukan dan mendorong tiga pelajar ini berubah menjadi begal motor.
Reza menjelaskan ada empat faktor yang mendukung tiga pelajar ini melakukan copycat. Yakni target, insentif, resiko dan sumber daya. Ia menyebut empat faktor ini dengan sebutan TIRS.
"Pertama adalah target yang mendukung. Yakni dimana target atau calon korban tersedia sangat banyak di lapangan. Lalu kedua adalah insentif. Yakni hasil kejahatan yang lumayan dari aksi itu, selanjutnya adalah risiko yang kecil," ujar Reza, seperti dilansir Tribunnews, Minggu malam (22/2/2015).
"Ini terbukti bahwa dari banyaknya aksi begal motor, sangat minim dan sedikit sekali yang diringkus polisi. Hal ini mendorong mereka melakukan duplikasi atau copycat," paparnya. Lalu yang terakhir, kata Reza, adalah sumber daya kepolisian yang dianggap minim untuk mengungkap modus kejahatan seperti ini.
"Dengan empat faktor atau TIRS yang sedemikian rupa, maka kemungkinan terjadinya aksi kejahatan termasuk peniruan aksi, menjadi sangat tinggi," katanya.
Untuk meminimalisir adanya copycat, kata Reza, sangat tergantung pula dari upaya kepolisian. Jika kasus kejahatan cepat diungkap maka kemungkinan copycat ditekan karena masyarakat justru menjadi takut melakukan kejahatan tersebut. (*)