Akseyna Ahad Dori |
MEDIA ONLINE - Sudah lebih dari dua bulan, kasus kematian Akseyna Ahad Dori belum juga terungkap. Kepolisian Daerah Metro Jakarta Raya akhirnya membentuk satuan tugas khusus untuk menyelidiki kasus kematian mahasiswa Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia itu.
Satgas itu akan dipimpin oleh Kepolisian Resor Depok agar misteri tewasnya Akseyna segera diungkap. "Kami dari polda sifatnya membantu mengawal kasusnya," kata Direktur Kriminal Umum Polda Komisaris Besar Khrisna Murti di Jakarta, Selasa (2/6/2015).
Khrisna mengatakan satgas itu secara resmi dibentuk Selasa ini. Salah satu tugas pertama tim tersebut adalah menelusuri ulang kematian Ace, sapaan akrab Akseyna, dari awal kejadian. Dia menyebut salah satu tantangan dari satgas adalah mengumpulkan bukti-bukti agar kasus tersebut bisa selesai.
Selain itu, tim khusus itu juga mesti bekerja sesuai hasil otopsi yang dianggap kurang sempurna. Sebab, tubuh mahasiswa Jurusan Biologi itu baru ditemukan beberapa hari setelah meninggal dunia.
"Memang jasadnya sudah diotopsi ulang, tapi tetap hasilnya tidak sempurna," kata dia.
Hasil otopsi ulang setelah jasad Akseyna dikubur adalah temuan luka di bagian tubuh korban. Luka itu merupakan luka dalam dan bagian luar tubuh. Polisi juga akan merangkai kembali barang bukti lain untuk mengungkap kematian Akseyna. Beberapa barang bukti yang ditelusuri kembali adalah alibi saksi. Hingga kini, polisi sudah memeriksa 25 saksi.
Ayah Akseyna, Maret lalu, Kolonel Sus Mardoto, berharap agar tempat anaknya kuliah lebih terbuka dan mendukung sepenuhnya proses penyidikan yang dilakukan polisi.
"Kami dukung sepenuhnya bahwa status kasus Ace (sapaan Akseyna) ditingkatkan menjadi penyidikan oleh Disreskrimum Polda Metro," kata Sus, Sabtu (30/5/2015).
Ia meminta UI bisa membuka akses lebih luas bagi penyidik untuk melakukan penyelidikan kematian anaknya lebih mendalam. Soalnya, sejak awal Sus yakin bahwa kematian anaknya tidak wajar.
"Kami sekeluarga yakin Ace memang dibunuh," ucapnya.
Pihak keluarga juga telah melakukan analisis kejanggalan kematian Ace. Pertama, keluarga tidak yakin dengan surat Ace yang disebut sebagai tulisan terakhirnya. Kedua, hasil analisis Grafolog American Handwriting, Deborah Dewi, yang menyatakan ada dua orang yang menulis surat itu.
Dalam tulisan itu, Deborah melihat tulisan pertama identik dengan tulisan almarhum, sementara ada bagian tulisan tangan dan tanda tangan yang dibuat orang lain. Temuan tersebut diperoleh Deborah setelah melakukan pembesaran mikroskopik 200 kali terhadap tulisan almarhum.
Proses analisis dilakukan Deborah selama dua minggu. Deborah membandingkan tanda tangan Ace dalam surat wasiat dengan 39 tanda tangan asli yang terdapat dalam dokumen-dokumen pribadi. Lebih jauh ia berharap polisi juga bisa memberikan hasil anaslisis terhadap anaknya secara lengkap dan transparan.
Pihak Universitas Indonesia sendiri berharap polisi bisa cepat mengungkap kasus tewasnya Akseyna di Danau Kenanga UI, Maret lalu. Juru bicara UI, Refelly Dwi Asuti, mengatakan pihaknya telah menyerahkan seluruh proses penyidikan kepada pihak kepolisian.
Sejauh ini pihaknya mengaku kooperatif dengan memberi data dan ahli untuk mengungkap kematian Akseyna, yang masih mengenakan tas berisi batu mengapung di danau. "Enggak bisa saya rinci mengenai data. Untuk tenaga ahli dari kedokteran forensik dan psikolog sudah diperbantukan," kata Riffeli, Senin malam (1/6/2015).
Ihwal teman dekat yang menemukan surat di Wisma Widya, Beji, tempat indekos Akseyna, Jibril, kata Riffeli, masih menjalani perkuliahan seperti biasa. Yang bersangkutan, kata dia lagi, memang meminta untuk dipindahkan ke Asrama UI, seperti dilansir Tempo.
"Sekarang sudah sebulan lebih di Asrama UI. Itu atas permintaan yang bersangkutan. Belum bisa ditentukan sampai kapan," ucapnya.
Sebelumnya, kriminolog UI Adrianus Meliala mengatakan kepolisian merasa kurang pantas gegabah memberikan pernyataan. "Ini menyangkut nama baik," katanya pada Selasa (26/5/2015). Setiap pernyataan yang dibuat kepolisian, harus disertai dengan alasan dan bukti yang kuat.
Apabila polisi menyebut mahasiswa berusia 20 tahun ini benar-benar bunuh diri, maka mereka harus memberikan motif yang kuat dan jelas. Sementara kalau mereka menyebut kasus ini sebagai pembunuhan, maka mereka juga bertanggung jawab memaparkan modus, identitas, serta alasan si pelaku.
Kasus ini, menurut Adrianus, masih sangat berkabut. "Kalau bunuh diri, motif tak jelas. Kalau dibunuh, modusnya juga kabur," kata dia. Namun ia tetap meminta polisi untuk terbuka tentang temuan-temuan baru yang kiranya menjadi petunjuk atas kasus ini. (*)