Egi, Pesepeda Lampung-Bali: Mushala Itu 'Hotel Bintang Seratus' - MEDIA ONLINE

Hot

Thursday, May 21, 2015

Egi, Pesepeda Lampung-Bali: Mushala Itu 'Hotel Bintang Seratus'

Egi Suryana

NGAWI – Sudah lebih dari 40 Mushala yang disinggahi Egi Suryana, warga asal Desa Tanjung Sari, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Mesuji, Provinsi Lampung, selama menempuh perjalanan panjangnya Lampung–Bali dengan bersepeda. Pria 37 tahun ini sadar betul, Mushala adalah 'tempat penginapan' yang paling ramah baginya selama di perjalanan.

“Mushala itu tempat penginapan paling ramah, karena yang jelas gratis untuk menginap, hehe,” selorohnya seraya tersenyum, saat berbincang dengan wartawan di tepi jalan raya Solo-Ngawi, tepatnya di Desa Kebon, Kecamatan Paron, Ngawi, Rabu (20/5/2015).

Bagi Egi, Mushala yang sering menjadi tempat persinggahannya ialah Mushala yang berada di SPBU. Di sanalah bapak satu anak ini merasa seperti tinggal di rumahnya sendiri. Ia bahkan menyebut Mushala di SPBU seperti hotel berbintang.

“Mushala SPBU itu hotel bintang seratus. Selain bisa istirahat, banyak juga orang yang minta foto bareng saya. Terus biasanya ngasih uang seikhlasnya untuk perbekalan saya,” tutur Egi.

Sebagai manusia biasa, Egi sadar betul kemampuan dirinya dalam bersepeda. Ia akan menghentikan perjalananannya begitu mentari sudah lingsir di barat. Saat-saat seperti itu, musala SPBU adalah tujuan utamanya. Di sana, ia melepas lelah, mandi,mencatat semua perjalananya, dan tentu saja melayani orang-orang yang meminta berfoto bersamanya.

Esok paginya, selepas menunaikan sembahyang subuh, Egi kembali melanjutkan perjalanan panjangnya dengan sepeda kesayangnnya itu.

Tak pernah terbayang sebelumnya, Egi bakal menyusuri ribuan kilometer jalan raya dengan bersepeda. Ayah satu anak ini juga harus menyeberangi lautan dari tanah kelahirannya di Mesuji, Lampung menuju Pulau Jawa, lalu berlanjut ke Madura dan Bali. Bekalnya hanya tekat kuat. Selebihnya, ia pasrahkan hidupnya kepada Tuhan semesta alam. Tentu saja, ia menyeberangi lautan dengan kapal bersama sepeda ontelnya itu.

“Saya percaya, hidup ini ada yang mengatur. Saya bertekad, Insya Allah mencapai tujuan,” tukas Egi yakin.

Pagi itu, Egi baru saja rehat sejenak melepas lelah di sebuah warung di tepi jalan Solo-Ngawi. Nafasnya masih terengah-engah. Wajahnya kusam disapu polusi dan debu jalanan setelah menyusuri jalan raya Klaten, Solo, Sragen. Sesekali, ia mengobati dahaganya dengan seteguk air putih yang ia simpan di sebuah botol plastik di tas ransel kumuhnya, seperti dilansir Madiunpos.

“Kalau habis, saya mampir di tepi jalan untuk isi ulang air putih ini,” kisahnya seraya menjelaskan bahwa ini adalah hari yang ke-49 sejak ia meninggalkan anak-istrinya serta kampung halaman tercintanya.


Lantas, apa yang sebenarnya dicari lelaki kelahiran 14 Juli1977 silam ini?

Egi mengaku melakukan perjalanan panjangnya dengan bersepeda karena dorongan kuatnya untuk menularkan semangat bersepeda sebagai alat bekerja dan menuntut ilmu.Egi sendiri membuktikan diri bahwa dengan bersepeda, ia bisa menuntut ilmu; baik ilmu formal di universitas-universitas, maupun ilmu terapan saat ia temui di tengah perjalanannya.

“Saya selalu sempatkan mampir ke kampus-kampus di Jawa dan Sumatera untuk belajar tentang bertani kepada dosen atau pun peneliti. Saya juga belajar langsung kepada petani di sawah yang saya jumpai saat perjalanan,” paparnya.

Di kampung halamannya di Mesuji, Lampung, keseharian Egi memang seorang petani. Ia dibantu istri dan keluarganya mengolah lahan garapannya. Namun, dia merasa ilmu pertaniannya masih jauh dari cukup. Itulah sebabnya, ia bertekad belajar pertanian meski dengan cara yang terbilang ekstrem, yakni bersepeda. (*)

Post Top Ad