JAKARTA - Rencana pemerintah yang akan menghapus nilai jual obyek pajak (NJOP) serta pajak bumi dan bangunan (PBB) disambut antusias berbagai kalangan. Penghapusan tersebut dinilai akan berdampak positif untuk seluruh rakyat termasuk pelaku usaha, utamanya pengembang.
"Bayangkan, tanah yang belum dibangun dikenakan pajak setiap tahun yang membuat harga perolehan tanah menjadi lebih mahal dan pada akhirnya dibebankan kepada konsumen juga. Ini sangat membebani," tutur Komisaris PT Hanson Land International Tbk, Tanto Kurniawan, seperti dilansir Kompas, Minggu (1/2/2015).
Belum lagi, tambah Tanto, penetapan NJOP yang dilakukan oleh pemerintah daerah selama ini tidak berdasarkan nilai ekonomis dari tanah tersebut, tetapi lebih ditentukan karena keputusan sepihak. Hal ini, menurut Tanto, menyebabkan harga jual tanah menjadi lebih tinggi karena pemerintah daerah secara agresif mendorong kenaikan tanah melalui NJOP.
"Jadi, pada saat pengembang membebaskan tanah, maka yang dihadapi adalah NJOP tersebut. Bahkan, akta notaris harus mengacu pada NJOP untuk menetapkan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)," imbuh Tanto.
Hal senada dikatakan pengamat ekonomi Aviliani. Menurut dia, usulan penghapusan PBB tersebut tentunya akan sangat menguntungkan masyarakat. Pasalnya, PBB terlalu memberatkan masyarakat, apalagi yang memiliki penghasilan rendah.
“Saat ini PBB itu menurut saya enggak fair. Kita lihat contohnya di Jakarta, PBB di wilayah ini naik 300 persen. Hal tersebut menyebabkan banyak warga asli yang tergusur karena enggak kuat bayar PBB. Masyarakat bawah itulah yang paling kena,” ujar Aviliani.
Hanya saja, lanjut Aviliani, kemungkinan besar usulan tersebut akan ditentang oleh pemerintah daerah. Penghapusan pajak tersebut akan membuat pemda kehilangan banyak pendapatan asli daerah (PAD) yang berasal dari PBB.
“Persoalannya adalah pemda akan kehilangan pendapatan dari PBB. Itu yang akan ditentang oleh pemda. Jadi kalaupun itu mau dikurangi, harus ada kompensasi dari pemerintah pusat. Harga minyak dunia sedang turun, pemerintah bisa menghemat ratusan triliun rupiah dari sana. Kompensasi tersebut kan bisa dari pengalihan subsidi bahan bakar minyak (BBM),” tandas Aviliani.
Sebelumnya diberitakan, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Ferry Mursyidan Baldan berencana akan menghapus NJOP dan PBB. Rencana tersebut diutarakannya dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) DPP-DPD REI di Hotel JS Luwansa Jakarta, Kamis (29/1/2015).
Menurut Ferry, pajak tersebut cukup dipungut sekali saat seseorang membeli atau membangun di tanah yang ia tempati.
“Tuhan itu menciptakan tanah sekali, kok kita tega memajakinya setiap tahun. Pajak bumi dan bangunan itu cukup sekali saja saat orang tersebut mengambil hak tanahnya,” ujar Ferry.
Ferry melanjutkan, menurut dia, kurang pantas apabila bangunan-bangunan yang diperuntukkan menunjang masyarakat, seperti rumah sakit, sekolah, dan tempat tinggal dikenai pajak tersebut. Menurut Ferry, pajak tersebut lebih efektif bila hanya dikenakan kepada properti komersial.
Dia pun mengusulkan untuk menerapkan pola penetapan harga pada satu kawasan yang bisa diperbarui setiap tahun untuk menggantikan NJOP. Dengan demikian, masyarakat bisa menggunakan standar yang sudah ditetapkan pemerintah. Hal tersebut didasarkan atas tujuan pemerintah untuk mengelola keadilan atas tanah.
Saat ini, menurut Ferry, rencana penghapusan NJOP dan PBB masih dalam proses kajian di Kementerian Agraria dan Tata Ruang serta Kementerian Keuangan. "Ini kita matangkan dulu, semoga diterima Pak Menkeu (Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro). Karena pasti memang ada pendapatan negara yang berkurang jadinya," ujarnya. (*)