Tjahjo Kumolo |
JAKARTA - Wacana mengenai pemberian jatah Rp1 triliun untuk satu partai pertama kali dilontarkan oleh Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo. Usulannya kini menjadi polemik, Tjahjo kemudian menjelaskan kembali bahwa usulannya itu bukan asal bicara.
Menurut Tjahjo, kurangnya dana yang diberikan pemerintah bagi partai politik membuat korupsi yang melibatkan elit partai politik tumbuh subur.
"Masalah APBD DKI itu bagaimana, ini kan dari situ. Kemudian area korupsi juga permasalahan anggaran, mesti ada orang partai apa itu kepala daerah, anggota DPRD kan semua orang partai," kata Tjahjo di Gedung Bidakara, Jakarta, Selasa (10/3/2015).
Sementara akar korupsi di parlemen atau pemerintah dinilai Tjahjo karena mahalnya biaya politik. Dimana biaya kampanye yang sangat mahal. Tjahjo kemudian mencontohkan di Australia dan Jerman semua partai politik resmi dibiayai oleh pemerintah. Namun, para partai politik itu harus memberikan pertanggungjawabannya.
"Gunanya untuk apa, kalau ada oknum partai yang korupsi ya misalnya nggak boleh ikut pemilu dan sebagainya," ujar dia. Tjahjo menuturkan, bahwa ketika dia menjadi Sekjen PDIP, partainya tak pernah mendapatkan dana Rp2 miliar yang dijanjikan pemerintah. Padahal uang itu digunakan untuk keperluan partai di seluruh Indonesia.
"Maka ditingkatkan harusnya. Kapan? Nanti kalau memang anggaran untuk kesejahteraan rakyat sudah cukup, anggaran untuk pembangunan sudah cukup, baru dianggarkan. Kapan? Ya bisa 5-10 tahun," lanjutnya, seperti dilansir Viva.
Dinilai Berlebihan
Sementara, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan bahwa usulan Rp1 triliun untuk satu partai itu sangat berlebihan. Menurut dia, pemberian anggaran dari pemerintah harus dilihat besar atau kecilnya partai.
"Saya kira harus dihitung berdasarkan jumlah kursi atau pemilih. Bukan rata-rata. Kalau satu triliun semua, nanti orang bikin partai semua," kata dia.
Menurut Kalla, tak masalah jika pemberian anggaran itu dihitung berdasarkan pemilihnya. Bukan semua partai dipukul rata Rp1 triliun. "Memang ada aturannya dulu," kata dia. (*)